top of page
Search
  • Writer's pictureIT Yogya

Jakarta Macet: Tanda Ekonomi Naik Atau Malah Bikin Rugi? | PT Rifan Financindo

PT Rifan Financindo - Belakangan ini, lalu lintas Jakarta terasa makin macet saja. Disebut-sebut macet Jakarta kini telah menyentuh ke level sebelum pandemi alias tingkat kemacetan di tahun 2019.

Per hari Rabu 8 Februari kemarin misalnya, dalam catatan detikcom, data live traffic Tomtom Traffic Index menunjukkan pada pukul 09.30 WIB, rata-rata angka indeks kemacetan di Jakarta sejak pukul 07.00 hingga 09.00 WIB berada di kisaran 59% sampai yang terparah 63%. Padahal, pada tahun 2019, indeks kemacetan Jakarta pada tanggal dan waktu yang sama cuma berada di angka 58-60%.


Angka indeks tersebut menunjukkan tambahan durasi perjalanan yang harus dialami pengendara akibat macet. Artinya, ketika indeks kemacetan Jakarta mencapai 63% maka durasi perjalanan bertambah setara angka tersebut. Misalnya jika dalam kondisi normal sebuah perjalanan membutuhkan waktu 60 menit, maka pada pagi ini durasinya bertambah menjadi 97 menit.



Di tengah kemacetan yang makin menjadi, Kementerian Keuangan melontarkan pernyataan yang bikin geger. Kemacetan yang terjadi di Jakarta disebut-sebut merupakan pertanda baik bagi ekonomi Indonesia. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebutkan kemacetan yang terjadi mencerminkan adanya geliat ekonomi yang mulai berjalan semenjak dihantam pandemi COVID-19.


"Macet menjadi salah satu indikasi bahwa ekonomi bergeliat. Tentu ini tidak mengesampingkan pentingnya membangun transportasi publik yang baik," kata Yustinus, kepada detikcom pada Kamis (9/2/2023) kemarin.


READ MORE

Kemudian dalam utas di akun Twitter pribadinya @prastow, Yustinus menjelaskan kemacetan lalu lintas dipengaruhi tingkat penjualan kendaraan. Pada 2022, penjualan mobil naik 18,76% dan sepeda motor naik 3,24%. Itu adalah tanda daya beli masyarakat tetap stabil dan terjaga.


Dengan adanya kepadatan di jalan, dia juga menyebutkan hal itu menjadi representasi dari aktivitas masyarakat untuk menggerakkan perekonomian.


"Macet kerap menjengkelkan, namun itu representasi aktivitas masyarakat. Makin menggeliat tentu makin mampu mendorong aktivitas ekonomi. Sejalan dengan itu, pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang kuat," kata Yustinus dalam utas Twitter-nya.


Pendapat berbeda justru diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang. Menurutnya ada perbedaan pola pikir antara Kemenkeu dengan para praktisi transportasi.


Menurutnya tidak ada sedikitpun kabar baik di balik kemacetan yang terjadi di jalan. Justru, bila ada kepadatan di jalan, artinya ada kesalahan sistem transportasi di suatu wilayah.

Deddy menegaskan bila dilihat dari sisi pengembangan transportasi, kemajuan sebuah bangsa bukan dilihat dari kepadatan pengguna kendaraan di jalan-jalannya apalagi sampai ada kemacetan.

"Ini kalau orang ekonomi bilang kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari jumlah pengguna mobilnya di jalan. Tapi kalau orang transportasi seperti saya pasti akan mengatakan, kemajuan sebuah bangsa hanya diukur dari perilaku pengguna kendaraan di jalan raya," ungkap Deddy kepada detikcom, Minggu (12/2/2023).


Menurutnya keberhasilan pengembangan transportasi di suatu wilayah adalah saat semua penghuninya mau menggunakan angkutan umum. Di sisi lain, pemerintahnya pun harus memberikan angkutan umum yang nyaman dan dapat diandalkan.



"Berhasilnya transportasi tidak dapat diukur dari jumlah pengguna kendaraan pribadi, tapi diukur dari keberhasilan menyediakan angkutan umum massal yang ramah, nyaman, aman, selamat," kata Deddy.


Deddy juga menyoroti data penjualan kendaraan yang dipaparkan oleh Yustinus di utasnya. Menurutnya, penambahan kendaraan pribadi di jalan bukan merupakan sesuatu yang baik. Deddy juga menduga pemerintah seakan-akan terlalu mendukung penggunaan kendaraan pribadi di tengah masyarakat daripada mengajak masyarakat naik angkutan umum.


Apalagi pemerintah pun sempat mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan pembelian kendaraan saat pandemi COVID-19. Menurutnya, fasilitas pajak 0% untuk pembelian mobil yang sempat dilakukan saat pandemi hanya membuat penggunaan kendaraan pribadi membludak dan ujungnya menimbulkan kemacetan.


"Political will pemerintah lebih memilih vehicle oriented daripada transit oriented yang berguna untuk memajukan angkutan umum massal baik berbasis jalan atau berbasis rel," sebut Deddy.


Kerugian Material Macet


Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno juga menyoroti pernyataan Yustinus. Djoko juga silang pendapat dengan Yustinus, persis seperti Deddy. Menurutnya, kemacetan bukan sebuah tanda pergerakan ekonomi, namun justru sebuah langkah pemborosan yang besar.


Dia mengatakan dengan adanya kemacetan di jalan yang dipicu banyaknya kendaraan pribadi, artinya semua orang harus membuang-buang bahan bakar secara percuma. Belum lagi perhitungan waktu yang terbuang cuma karena macet.


Djoko menilai sangat tidak tepat menyebut kemacetan tanda geliat ekonomi. Bukan ekonomi yang bergerak, di tengah kemacetan yang timbul hanya lah kerugian bagi ekonomi. Kemacetan juga merugikan negara secara besar-besaran, subsidi BBM triliunan rupiah dibakar di tengah kemacetan.


"Kalau macet kan karena banyak kendaraan pribadi di jalan, kan artinya ini jatuhnya malah pemborosan. BBM-nya berapa? Subsidi BBM berapa triliun dibakar cuma untuk kemacetan. Kurang tepat kalau diglorifikasikan begitu," sebut Djoko ketika dihubungi detikcom.


Djoko juga mengungkapkan diperkirakan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dapat membuat kerugian dalam nominal Rp 71 triliun lebih. Mulai karena pemborosan waktu hingga pemborosan BBM yang terbuang sia-sia.


"Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari," ungkap Djoko.


Djoko juga mengatakan kemacetan yang makin parah di Jakarta merupakan bukti pemerintah memang kurang tegas untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi justru terus menerus diberikan kemudahan untuk tumbuh.


"Ini kan seharusnya sudah ada pembatasan kendaraan pribadi di Jakarta, melihat jumlah kendaraan pribadi yang semakin banyak. Cuma kan ketegasan pemerintahnya kurang untuk menahan laju kendaraan pribadi, kebijakan ERP itu saja nggak jalan-jalan, 3 in 1 sampai ganjil genap juga nggak ngaruh," ungkap Djoko.


Djoko mengatakan untuk lingkup Jakarta saja, menurutnya jaringan transportasi umumnya sudah baik dan berjalan dengan sempurna. Dia mengatakan 92% kawasan di Jakarta sudah terhubung transportasi umum.


"Kalau di Jakarta saja kan, jalan berapa ratus meter, jarak pejalan kaki bisa ketemu angkutan umum, minimal Jak Lingko lah yang angkot. Seharusnya ini masyarakat yang lalu lalang di Jakarta diperketat menggunakan kendaraan pribadi," kata Djoko.




Sumber : news.detik

PT Rifan Financindo

1 view0 comments

Recent Posts

See All

IHSG Dibuka di Zona Merah

Indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini dibuka pada level 7.349. Dikutip dari data RTI pada Kamis 22 Februari 2024 IHSG level...

Comentários


Post: Blog2_Post
bottom of page