PT Rifan Financindo - Pernyataan Presiden yang berencana mengajak DPR merevisi UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menimbulkan ragam reaksi di kalangan publik. Presiden menginginkan revisi atas UU ITE yang materi muatannya dianggap multitafsir dan mengandung banyak pasal karet sehingga mengekang kebebasan rakyat. Respons berbagai pihak terus mengalir; sejumlah akademisi maupun praktisi hukum menginginkan UU ITE direvisi secara menyeluruh tanpa perlu mengajak DPR. Tak terlepas, hampir seluruh masyarakat mendukung penuh rencana Presiden. Di lain pihak, staf ahli Kemenkominfo yang merupakan Ketua Subtim I Kajian UU ITE menyatakan tidak akan merevisi UU ITE karena pernah diujikan oleh MK dan ditolak sebanyak 10 kali. Seperti kita ketahui, putusan MK bersifat final dan mengikat, yang bermakna putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang harus dijalankan serta merta bahkan tidak ada ruang untuk mengujinya lagi. Perbedaan sikap ini memunculkan narasi yang beragam serta menimbulkan simpang siur yang tak ada ujung. Namun tetap saja, situasi yang demikian perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kebingungan bagi rakyat. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu diperjelas, bagaimana status norma hukum dalam UU yang mendapat kekuatan hukum oleh sifat putusan final dan mengikat MK? Apakah norma hukum yang telah mendapat legitimasi putusan final dan mengikat MK dapat direvisi oleh pembentuk UU? Menjawab Keraguan Dalam jejak yuridis, kita tidak dapat menemukan secara langsung frasa final dan mengikat putusan MK, namun dapat dibaca dalam satu tarikan napas Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, yang sekaligus menjelaskan kewenangan MK untuk menguji UU yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam kaitan ini MK merupakan lembaga penyeimbang diantara dua kekuasaan negara tersebut. Pembentukan MK disepakati sebagai resultante antara politik dan hukum sebagai peradilan pertama dan terakhir yang menimbulkan konsekuensi tidak adanya ruang hukum di peradilan lain untuk membanding atau mengoreksi putusan MK. Konsekuensi ini timbul akibat atribusi kewenangan Konstitusi yang menghendaki demikian sebagai peradilan yang berdiri sendiri, sehingga putusan MK secara langsung mengikat untuk mengakhiri persoalan dan segera memberikan kepastian hukum. Karena batasan konstitusional inilah, tidak ada lembaga mana pun dan kekuasaan mana pun di negara ini yang dapat menghindari putusan MK, suka atau tidak putusan MK harus dijalankan karena memang perintah Konstitusi. Dalam konteks adanya pengujian UU ITE sebelumnya meski menggunakan frasa tidak dapat diterima, bukan berarti MK sepenuhnya "menolak" atau tidak mau untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian UU ITE tersebut. Justru, kerangka pemikiran hakim dalam menyusun argumen (obiter dictum) dan alasan menjatuhkan putusan (ratio decidendi) dalam pertimbangan hakim putusan pengujian tersebut merupakan tafsir konstitusional yang dilakukan oleh MK sebagai penafsir akhir konstitusi. Dengan demikian, dapat kita pahami UU ITE tetap dapat direvisi karena hukum Indonesia memang menyediakan mekanisme itu. Hanya saja yurisprudensi atau putusan MK yang telah ada dijadikan acuan dalam mengoreksi, mengubah, menambah, bahkan mencabut norma dalam UU ITE yang sedianya ingin kita perbaiki. Putusan MK Sebagai Acuan Karena keterbatasan kesempatan, saya berusaha memberikan analisis contoh putusan MK yang dapat digunakan sebagai acuan. Pertama, putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 terkait pengaturan penyadapan, dengan adanya putusan ini berdasarkan pertimbangan hakim tindakan penyadapan termasuk di dalamnya perekaman ialah perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun dalam kaitannya dengan penegakan hukum, yang memerlukan tindakan penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan UU. Untuk itu, dalam hal ini ke depan bila diinginkan masuk dalam kegiatan revisi UU ITE sebaiknya diatur secara jelas beserta hukum acara dalam melakukan penyadapan serta memuat terkait pemberian kewenangan penyadapan harus sangat dibatasi agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Kedua, putusan MK nomor 50/PUU-VI/2018, dalam putusan ini Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik dikategorikan sebagai delik aduan bukan sebagai delik umum. Hal ini dimaksudkan MK agar Pasal 27 Ayat (3) selaras dengan kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Delik aduan hanya bisa dituntut jika ada pengaduan oleh orang yang dirugikan. Pembentuk UU dapat menegaskan hal ini dalam UU ITE yang akan direvisi, bahwa yang dapat melaporkan atas dugaan tindakan pencemaran nama baik adalah orang yang dirugikan atau yang dicemarkan nama baiknya. Sehingga menutup peluang adanya tindakan "main lapor" oleh pihak lain. Kedua contoh di atas merupakan gambaran revisi UU ITE ke depan berdasarkan putusan MK. Selebihnya kita berharap pembentuk UU lebih memberikan kejelasan bagi rakyat tentang revisi UU ITE secara lebih terbuka, berpedoman pada kaidah pembentukan UU yang baik dan mendengarkan aspirasi rakyat, karena sebaik dan seideal apapun UU jika rakyat tak menghendaki, maka tak selayaknya mendapat tempat di negara hukum Indonesia.
Sumber: News.detik
PT Rifan Financindo
Comments